Gereja Sampah, Apa itu?

18 Januari 2020
Holyland, News

PasolaTours.com – Feature Namanya “gereja sampah”. Disebut demikian karena terletak di bukit tempat penimbunan sampah kota Kairo, Mesir. Belasan ribu pemulung hidup di sana dengan mengais sampah. Tak ayal lagi, bau busuk sampah memenuhi ruang ibadahnya yang tidak berpendingin udara. Namun bagi penduduk sekitar, gereja ini memancarkan “bau harum”. Keharuman Kristus terpancar lewat kehadiran dan kesaksiannya. Pelayanan jemaatnya telah membawa banyak pemulung mengenal Kristus dan mendapatkan pegangan hidup. Setiap minggu mereka beribadah di situ. Menyembah Tuhan di tengah impitan kemiskinan.

Tersembunyi di balik pemukiman kumuh di Mesir, Simon The Tanner Church adalah nama lain dari Gereja Sampah, Simon The Tanner sendiri adalah seorang santo yang hidup pada zaman itu yang juga merupakan seorang penyamak kulit. Pemberian nama Simon The Tanner Church sendiri didedikasikan kepada St. Simon si penyamak kulit.

Tumpukan karton bekas, karung-karung plastik sarat berisi sampah adalah pemandangan yang lazim di pemukiman yang padat itu. Banyak kali kami berpapasan dengan truk-truk bermuatan karungan sampah dan sejenisnya. Penduduknya sudah kebal karena vitamin D (ebu) dan L(alat). Unik sekali. Apalagi meskipun rumah-rumah itu kebanyakan lebih menyerupai gudang sampah, tapi di pintunya tampak tergantung salib. Banyak juga gambar-gambar icon Bunda Maria menggendong Bayi Yesus di dindingnya.

Memang kaum Zabbaleen (https://en.wikipedia.org/wiki/Zabbaleen), mayoritas penghuni Manshiyat Naser, Kota Sampah ini beragama Kristen Orthodox Mesir (Koptik, injil masuk ke Mesir melalui murid Yesus sendiri, Rasul Markus). Sebenarnya mereka adalah orang-orang pendatang yang terpaksa pindah ke Cairo (kira-kira tahun 1940-an) untuk mencari nafkah karena paceklik di tempat asal mereka. Sebagai petani dan peternak, mereka membawa serta kambing domba mereka. Di ibu kota ini kebanyakan mereka harus mengais sampah mencari makanan bagi ternak mereka.

Jumlah mereka makin hari makin banyak. Tersebar di seluruh penjuru kota Cairo.  Hingga pada 1969, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk mengumpulkan para pemulung ini di kaki bukit Muqattam di pinggiran kota. Pada 1987 jumlahnya sudah menjadi kira-kira 15.000 orang, dan sekarang sudah menjadi lebih dari 30.000 orang. Jadilah tempat ini kampung pemulung, pusat sampah, pusat daur ulang sampah kota Cairo.

THE CAVE CHURCH

Inilah The CAVE CHURCH (gereja Goa) atau seperti umat Koptik menyebutnya: St. Simon the Tanner Church. Konon kisahnya adalah seorang pemuda pemulung yang putus asa, merasakan beratnya tekanan hidup, betapa gelap masa depannya. Suatu malam, dalam keadaan mabuk berat Farhat Qiddis Agib, begitulah nama pemuda itu, jatuh tak sadarkan diri di muka rumah seorang pendeta Kristen Koptik. Pak pendeta kemudian menolong, merawat dan terus mendampingi, mengenalkan Farhat kepada Yesus Sang Juruselamat dan Sumber Harapan. Akhirnya Farhat yang telah diubahkan kembali ke kampung pemulung, membawakan terang, membagikan harapan bagi teman-temannya di kota Cairo.

Mereka menemukan goa di kaki bukit Muqattam, yang mereka bersihkan dan kemudian menjadi tempat mereka berkumpul, bersekutu dan beribadah. Mereka menggelar karung-karung bekas sebagai alas duduk di dasar goa dan belajar Firman Tuhan di sana. Berulang kali Farhat mengajak pendeta yang menolongnya untuk datang membawakan firman. Mulanya sang pendeta enggan, khawatir memasuki sarang pemulung dan menolak. Namun suatu hari hembusan angin menerbangkan sampah di jalan kemana-mana, menjatuhkan secarik kertas di dekatnya. Ternyata secarik kertas sampah itu adalah robekan Alkitab bertuliskan Kisah Rasul 18 : 8,9 yaitu Firman Tuhan kepada Paulus dalam suatu penglihatan: “Jangan takut! Teruslah memberitakan Firman dan jangan diam! Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah dan menganiaya engkau , sebab banyak umat-Ku di kota itu.” Maka tanpa ragu lagi ia berangkat dan dengan setia melayani di kota sampah ini.

Akhirnya Paus (Koptik) Shenouda mendengar tentang persekutuan pemulung ini dan memberikan uang $150 dengan pesan agar Farhat mendirikan sebuah gereja. Maka pada tahun 1976 mulailah di buat sebuah altar di dasar goa. Jemaat duduk mengelilinginya. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk kampung pemulung, bertambah pula jumlah jemaat yang setia beribadah. Farhat pun menjadi abuna, pendetanya…

Keunikan gereja ini menarik perhatian banyak orang, bahkan mendunia. Banyak turis berdatangan, simpati dan donasi pun mengalir. Sekarang goa yang luas ini bisa menampung 20.000 orang. Tidak lagi harus duduk bersimpuh di atas karung ataupun karpet jerami bekas seputar altar. Area utama di dalam gua berbentuk seperti auditorium setengah lingkaran dengan mimbar khotbah untuk pendeta di atas panggung. Banyak wisatawan belum tahu, gereja dalam gua ini merupakan gereja paling besar di Timur Tengah yang kebanyakan adalah negara-negara Islam. Dengan segala keunikan itu, Cave Church pun menjadi daya tarik wisatawan.

Bahkan ketika Mario, seorang turis dari Polandia menanyakan: mengapa gereja begitu polos, tanpa icon  (gambar-gambar orang suci)? Farhat menjawab: Kami tidak ada orang yang dapat membuat ukiran, dan dinding kami adalah dinding batu. Maka Mario yang adalah seorang pemahat mengajukan diri untuk membuat ukiran di dinding goa.

Sampai sekarang Mario terus mendedikasi kan dirinya, mengukir pahatan demi pahatan di dinding bukit. Ada ukiran Keluarga Kudus, Yusuf, Maria dan Bayi Yesus, ukiran ayat-ayat Alkitab, ukiran kubur kosong dengan batu yang sudah terguling, kisah tentang bukit Muqattam, dll.

Meskipun sekarang di kompleks gereja ini sudah ada 7 kapel, Mario terus mengukir dan mengukir. Iapun menetap di Mesir, menikah dengan seorang wanita Mesir dan membangun keluarga di sana.

SIMON THE TANNER CHURCH

Nama “Gereja Sampah” hanyalah orang Indonesia yang menyebutnya. Penduduk setempat, orang-orang koptik Zabbaleen menyebutnya St. Simon the Tanner Church, atau gereja Santo Simon sang Penyamak Kulit. Beliau hidup di akhir abad 10. Di kenal sebagai pengrajin kulit, beliau di gambarkan sebagai seorang saleh bermata satu yang menggendong kantung air di pundaknya. Memang tiap pagi sebelum mulai pekerjaannya sebagai pengrajin kulit beliau menyempatkan untuk berjalan keliling kota menggendong kantung air, mengunjungi orang-orang sakit dan para janda yang membutuhkan. Bagi Cairo yang amat jarang turun hujan, pelayanan ini sungguh amat berarti.

Mengapa Simon yang saleh ini bermata satu? Di dinding kapel St Markus terukir kisahnya; sebagai pengrajin kulit, Simon juga membuatkan kasut, sandal seperti pada umumnya. Suatu hari datanglah seorang wanita minta dibuatkan sepatu. Namun ternyata wanita ini bukan wanita baik-baik, dan mencoba merayu, menggodanya. Menurut catatan, Simon mengambil jarum yang biasa digunakannya untuk menjahit kulit sepatu dan mencucukkannya ke mata kanan nya sendiri. Dengan demikian beliau ingin menunjukkan ketulusan hatinya, melawan godaan, agar jangan berzinah, taat menuruti Firman.

Matius 5 : 29,  Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.

IMAN SEBESAR BIJI SESAWI

Kisah kesalehan Simon Penyamak Kulit tidak berakhir di sini. Pada tahun 972 – 975 Mesir, yang adalah sebuah Negara Islam dengan ibu kotanya Babylonia (sekarang di sebut Cairo) di perintah oleh Khalifah yang pertama dari dynasti Fatimid, Fatimid al Muizzi. Beliau adalah seorang muslim yang taat, bijak dan berpikiran terbuka, yang gemar mengadakan perbincangan agama. Para pemuka agama sering di undang untuk berbicara dan berdebat.

Ada orang yang tidak senang dengan kedatangan Khalifah yaitu Yaqub Ibn Killis. Sebelum Mesir jatuh ke tangan Khalifah, jabatan Ibn Killis saat itu adalah sebagai Gubernur. Namun dengan datangnya Khalifah menguasai Mesir, maka Ibnu Killis pun mencoba untuk menyelamatkan diri dan jabatannya, dengan cara ikut membantu melancarkan dan menyukseskan proses penguasaan Mesir ke tangan Khalifah. Bahkan untuk merebut hati sang Khalifah, dia tidak segan-segan merubah kepercayaannya dari seorang pengikut Kristus (Kristen Koptik) menjadi seorang Muslim.

Suatu kali Khalifah mengundang Paus Kristen Orthodoks Abraam dan seorang pemuka agama Yahudi Yaqub bin Killis. Dalam perdebatan ini Yaqub yang merasa bahwa Paus Abraam  berada di atas angin balik menyerang dengan menanyakan: “Bukankah di Alkitab anda ada ayat yang mengatakan: jika kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata pada gunung: pindah dari tempat ini ke sana. . .  maka gunung  ini akan pindah?“(Mat.17 : 20)

“Benar,” jawab Patriark Abraam (Patriark atau Batrik adalah gelar bagi uskup tertinggi dalam Gereja Ortodoks Timur). Maka Khalifah pun menimpali: “Kalau begitu, buktikanlah. Kalau benar demikian berarti imanmu benar, Allah mu hebat. Apabila tidak berhasil membuktikannya sesuai dengan apa yang tertulis pada ayat tersebut, maka seluruh umat Kristiani di Mesir akan mendapatkan 3 macam ultimatum yaitu: pertama, seluruh umat Kristiani di Mesir harus meninggalkan ajaran Iman Kristennya dan berpindah agama sebagai pemeluk agama Islam; kedua, apabila tetap mempertahankan keimanan Kristennya, maka umat Kristen harus berpindah keluar dari tanah Mesir ke daerah/ negara lainnya; ketiga, apabila (1) dan (2) tidak dipenuhi, maka umat Kristen akan langsung berhadapan dengan pedang! Ini sama artinya dengan kematian bagi orang-orang Kristen Koptik! Patriark terkejut dan meminta waktu 3 hari.

Sang Patriark lalu meninggalkan sang Khalifah dan pergi ke Gereja Al-Mu’allaqah/ Gereja Gantung (Hanging Curch) di Babylon (sekitar daerah kota Kairo lama). Gereja ini dipercaya sebagai tempat tinggal Keluarga Kudus selama pelarian mereka ke tanah Mesir dari kejaran Herodes (Matius 2:13-14, 19). Beliau meminta seluruh pendeta dan jemaat berkumpul selama 3 hari itu, berpuasa, berdoa mohon pengampunan dan pertolongan Tuhan.

Di hari ketiga, pagi-pagi benar karena keletihan dan kegundahan Paus Abraam jatuh tertidur. Dalam mimpinya beliau melihat Bunda Maria datang dan menanyakan mengapa beliau begitu berduka. Kemudian Bunda Maria berkata: “Pergilah pagi-pagi hari ke pasar, jumpailah seorang pria bermata satu yang menggendong kantung air, karena melalui dialah mujizat Tuhan akan dinyatakan”. Paus tersentak dan segera menuruti perintah Bunda Maria. Pria yang dimaksud tak lain adalah Simon si Penyamak Kulit.

Simon terkejut atas mimpi sang Patriark yang justru menyatakan bahwa dari dirinyalah “jawaban atas persoalan hidup matinya orang-orang Kristen Koptik Mesir ditentukan”. Padahal dia sendiri berpendapat bahwa dirinya adalah orang yang tidak layak dihadapan Tuhan karena banyaknya dosa yang telah dia lakukan dalam seluruh kehidupannya. Namun sang Patriark tetap bersikukuh atas pesan yang dia dapatkan tersebut, sehingga akhirnya Simon luruh hatinya. Kejadian yang aneh tiba-tiba terjadi pada diri Simon yang seolah-olah mendapatkan jawaban dari sorga tentang persoalan tersebut. Simon kemudian meminta syarat kepada sang Patriark agar apa yang sudah terjadi saat itu, tidak boleh diketahui oleh siapapun selama masa hidupnya. Sang Patriark menyetujui syarat yang diminta Simon.

Pada waktu yang telah ditetapkan, Khalifah beserta para prajuritnya, dan orang-orang Yahudi pun berkumpul di depan bukit yang dimaksud. Patriark lalu memberitahu sang Khalifah bahwa dia telah siap menjawab permintaan sang Khalifah dan mengundang Khalifah untuk pergi ke sisi timur dari gunung Muqattam. Patriark membawa serta seluruh jemaat (termasuk St. Simon) berjalan ke arah gunung tersebut, sementara sang Khalifah berangkat bersama beberapa pembantu terdekatnya termasuk Yaqub ibn Killis dan seluruh prajuritnya bergerak ke arah sisi lain gunung menempati posisi yang saling berhadapan dengan rombongan sang Patriark.

Menuruti arahan Simon, Patriark membuat tanda salib ke arah bukit, kemudian bersama seluruh umatnya bersujud sampai ke tanah, berdoa dan berseru “KYRIE ELEISON, KYRIE ELEISON!” (TUHAN kasihanilah kami, TUHAN kasihanilah kami!) berkali-kali yang diserukan dengan keyakinan iman yang penuh dan teguh! Begitu kuatnya keyakinan para pengikut Kristus sehingga sanggup menghadirkan suasana yang begitu kudus.

Setelah 400 kali ‘Kyrie Eleison’ dikumandangkan (100 kali menghadap timur, 100 kali mengadap barat, 100 kali menghadap utara dan 100 kali menghadap selatan ), suasana hening kembali untuk beberapa saat, lalu seluruh umat Kristus melakukan sujud sejenak kemudian bangkit berdiri dan sang Patriak memberikan tanda salib ke arah gunung. Pada saat itulah keajaiban terjadi!

Gunung tiba-tiba bergerak terangkat dari permukaan tanah sehingga sinar matahari bisa terlihat dari celah-celah antara dasar gunung yang terangkat tersebut dengan permukaan tanah! Kemudian mereka berdoa terus….. dan pegunungan timur Mokattam berpindah kesebelah barat dengan jarak 3 kilo meter dari Kota Cairo. Namun, Simon Sang Penyamak tidak dapat ditemukan di mana-mana, lenyap bagai ditelan bumi.

Sang Khalifah dan para pengikutnya menjadi terbelalak, takjub, dan sangat ketakutan menyaksikan keajaiban yang sedang berlangsung tersebut. Sang Khalifah langsung berteriak sekuat tenaga mengucapkan “Allah Maha Besar; Puji syukur atas namaNya” dan langsung pergi menuju tempat Patriark dan umat Kristus.

Dengan jujur Khalifah al Muizzi mengakui: “Allahmu sungguh luar biasa!” Beliau pun menanyakan hadiah apa yang Patriark minta sebagai imbalan, dan Patriark meminta izin untuk memperbaiki gereja-gereja yang rusak, bahkan ada yang sudah dijadikan asrama tentara.

Khalifah memberi izinnya dan menawarkan bantuan dana, tapi dengan halus Paus Abraam menolak: “Tuhanku yang sudah memulai segala sesuatu ini, Dia sendirilah yang akan menyelesaikannya.” Bukit yang semula bernama Bukit Qiskam dinamakan orang Bukit Muqattam, Bukit belah atau bukit pindah.

Setelah Khalifah melihat mujizat Tuhan maka ia merasa bahwa pekerjaannya yang ia geluti selama ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan, akhirnya ia menyerahkan dirinya untuk mengikuti Tuhan, kemudian hari berikutnya dia dibaptis menjadi orang kristen dan namanya berubah menjadi Stefanus. Untuk menghindari protes orang lain maka Stefanus pindah ke padang gurun. Cerita ini telah tercatat dalam sejarah bangsa Mesir dan bahkan menceritakan mengapa sampai Khalifah Fatimid al Muizzy pindah ke padang gurun dan sampai mati melayani Tuhan.

Goa yang lapang , dinding batu dengan pencahayaan  yang begitu alami benar-benar  memberikan keteduhan di teriknya Cairo. Mengunjungi Gereja Sampah, beribadah di sana, mengukirkan kesan tersendiri dalam hati: sungguh agung mulia Tuhan kita. Kasih-Nya menembus jauh kedalam tumpukan sampah, merengkuh jauh melampaui kemegahan tembok  istana. Menyirami hati yang lembut ataupun keras membatu, hati yang remuk menjerit ataupun acuh, yang rendah ataupun congkak, tanpa pandang bulu.   Panggilannya terus berkumandang: Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Semoga telinga dan hati kita terus peka memenuhi panggilan-Nya, dan tidak lalai meneruskannya. Biarlah setiap kehidupan kita menjadi Surat Kristus yang terbuka. Tuhan Yesus Memberkati!

Penulis : Yehuda Albert Pratama (https://www.instagram.com/yehudaalbert/)

Referensi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Warning: count(): Parameter must be an array or an object that implements Countable in /home/pasola/public_html/wp-content/plugins/multidomain-multitheme/classes/domainHandler.php on line 22